Rabu, 05 Desember 2007

TANYA JAWAB CITA-CITA

Diasuh oleh Dream Motivator, yaitu Kak AJI DS (Ir. Yudistira S. A. Soedarsono), penulis buku Leadership Metamorfosis® (2004), DreamSMART for Teens (2006), dan sedang menyiapkan penerbitan buku DreamSMART™ for Parents (insyaALLAH terbit Desember 2007).
Bagi yang ingin berkonsultasi tentang Cita-cita dapat mengirim SMS ke 0816-90 45 84.
Tanya-Jawab pada Blog ini insyaALLAH akan di update seminggu sekali.
DreamSMART juga mengadakan Workshop dan Training bagi remaja dalam bidang Kepemimpinan dan Cita-cita, serta Seminar/Talk Show bagi para Remaja, Orang-tua dan para Guru.
===================

KASUS 7:

Dalam kasus ke-7 ini, apa yang saya kemukakan bukanlah sebuah tanya-jawab, namun sebuah kasus yang sangat menarik dan unik tentang perjalanan seseorang yang ingin menggapai cita-citanya.

Saya mengenal Ryan kira-kira dua tahun lalu. Waktu itu dia duduk di kelas 11 di sebuah sekolah swasta di Jakarta Selatan. Ia mengambil jurusan IPA.

Ketika pertama kali berjumpa, saya langsung menanyakan apa cita-citanya. Waktu itu belum ada jawaban yang tegas dari Ryan. Ketika saya berdiskusi dengan ibundanya, saya mengetahui bahwa dia adalah seorang anak tunggal dengan ayah seorang dokter yang dari keluarga dokter. Maksud saya, banyak dari saudara ayahnya yang menjadi dokter. Ibundanya adalah seorang ekonom yang saat itu hingga kini lebih banyak bergerak di bidang sosial kemasyarakatan.

Pada dasarnya, dari kedua orang tuanya tidak ada pemaksaan Ryan harus menjadi apa. Namun, ada pihak lain yaitu dari keluarga besarnya yang ada kecondongan untuk mengajaknya mengikuti jejak sebagian besar keluarga ayahnya, yaitu agar menjadi dokter. Namun, untuk yang satu ini dia samasekali tidak tertarik.

Kalau dilihat dari nilai pelajaran, hampir dapat dikatakan bahwa dia sangat baik dalam hal-hal yang terkait dengan IPA. Boleh dibilang nilai pelajaran IPAnya: Matematika, Fisika, Biologi dan Kimia semua di atas angka 8. Bahkan sempat, nilai rata-rata Kimianya di atas angka 9. Nilai Bahasa Inggrisnya juga baik, 8, juga bahasa Indonesia. Kalau dilihat dari hobinya, akan nampak ketertarikannya pada hal-hal yang cukup luas. Sejak SMP, ternyata dia sangat menyukai Bahasa Jepang hingga sekarang, bahkan sempat liburan dan melakukan homestay di Jepang. Dalam hal olah-raga dia sangat menyukai Capoeira, dan memang sungguh sangat menyukainya. Dia selalu memakai ikat pinggang tali khas seperti layaknya akan berlatih Capoeira.

Jadi, kira-kira dia ingin menjadi apa?

Kira-kira bulan Maret-April 2007, saat dia telah duduk di kelas 12, dan harus melakukan pemilihan jurusan-jurusan yang akan dia ambil untuk kuliah, sepertinya masih ada sedikit keraguan dalam memilih. Namun demikian, dia sempat mengikuti ujian saringan untuk program internasional di FEUI, dan akhirnya sempat diterima. Namun, yang sempat membuat ibundanya bingung dan panik, ternyata pada saat-saat akhir pendaftaran ulang, dia tidak mau untuk melakukan registrasi. Juga dia sempat diterima di MIPA ITB, namun itupun tidak jadi diambilnya.

Ada satu hal yang menarik darinya. Ibundanya bercerita bahwa Ryan pernah dengan sukarela membantu temannya yang ketinggalan pelajaran dan bertindak sebagai mentor. Bahkan, ketika ditanya oleh ibundanya,”Terus, kamu belajarnya kapan dong?”
Jawabannya cukup singkat,”Kalau aku nggak belajar khan risikonya paling nilaiku turun, tapi kalau temanku enggak aku ajarin khan risikonya dia enggak naik kelas khan Ma..”

Ketika saya bertanya kepadanya, apakah nanti kalau bekerja suka dengan hitung-hitungan atau tidak, jawabannya dia tidak mau untuk terjun di bidang yang banyak hitungannya walaupun sebenarnya dia bisa. Tapi setidaknya dia masih mau untuk sekadar hitungan statistik karena itu adalah salah satu alat untuk melakukan penelitian dalam bidang apapun.

Dari beberapa kejadian sehari-hari yang sederhana dan beberapa cerita dari Ibundanya, akhirnya saya menyarankan kepada Ryan dan juga dihadapan Ibundanya, sebaiknya dia mencoba untuk mengambil Jurusan Psikologi saja. Kalau bisa langsung ke Jepang ya bagus, tapi kalau tidak, nanti setelah sarjana di sini, sebaiknya meneruskan ke Jepang untuk mengambil Master dan sekaligus Doktor bila mungkin.

Ketertarikan dan hasrat untuk membantu orang lain dan juga minat yang sangat tinggi untuk terus mempelajari Bahasa Jepang, termasuk kebudayaannya itulah yang membuat saya yakin bahwa dia akan menjadi “seseorang yang hebat” di bidang itu.

Akhirnya, saat ini, Alhamdulillah, dia telah menjadi salah satu Mahasiswa Psikologi di Universitas Indonesia. Doa saya, semoga dia sukses.